Penulisan sejarah tentang Perang Salib sampai hari ini masih menyisakan
banyak pertanyaan yang belum terjawab. Salah satunya tentang peranan
kaum Hashyashyin, sebuah sekte (ordo) khusus pembunuh dari kelompok
Ismailiyah-Qaramithah, salah satu cabang dari kelompok Syiah di bawah
Dinasti Fathimiyah. Hashyashyin (Asassins) “guru” bagi Knights Templar

Konon, Hashyashyin ini merupakan “guru” dari Knights Templar
yang dibentuk oleh Ordo Sion di tahun 1118 Masehi. Keduanya —
Hashyashyin maupun Templar-memiliki banyak kemiripan. Mulai dari
struktur organisasi, pembangkangan terhadap agama (bid’ah) dan bahkan
dianggap agnostik (tidak meyakini agama apapun kecuali doktrin
pemimpinnya), kepandaiannya dalam berperang, membunuh, serta
keterampilan dalam hal pengunaan racun, serta adanya ritual-ritual
khusus yang penuh dengan warna mistis-paganistik.
Bahkan banyak penulis sejarawan modern menganggap Sekte Syiah
Qaramithah—asal muasal gerakan Assassins — sebagai kelompok
Bolsyewisme-Islam atau cenderung komunistis. Pendiri sekte ini bernama
Hamdan al-Qarmath, seorang Irak yang gemar pada ilmu-ilmu perbintangan
dan kebatinan, mirip dengan pengikut Kabbalah (Hitti, History of the
Arabs: From the Earliest Times to the Present, 2002).Templar sendiri
sesungguhnya pengikut Kabbalah, walau mereka mengaku sebagai pemeluk
Kristen pada awalnya.
Penaklukkan Jurusalem Oleh Dinasti Fatimiyah.
Sebab itu, banyak sejarawan Barat yang menuding di antara kedua sekte
khusus pencabut nyawa ini sesungguhnya terjalin satu kerjasama dalam
bentuk yang tersembunyi. Salah satu yang memunculkan dugaan ini adalah
Prof. Carole Hillenbrand, Guru Besar Studi Islam dan Bahasa Arab
University Edinburgh, Skotlandia. Skotlandia sendiri dikenal sebagai
wilayah basis dari Freemasonry yang lahir di darah ini selepas
penumpasan Templar oleh Raja Perancis, King Philipe le Bel, yang dibantu
Paus Clement V di tahun 1307 M.
Profesor Hillenbrand dalam bukunya “The Crusade, Islamic Perspective”
(1999) menulis bahwa setahun sebelum pasukan salib gelombang pertama
yang dikomandani Godfroi de Bouillon tiba di pintu Yerusalem di tahun
1099 dan merebutnya, Yerusalem diserang oleh pasukan dari Dinasti
Fathimiyah-Syiah yang berpusat di Mesir dan merebutnya dari tangan
kekuasaan Dinasti Abbasiyyah yang beraliran Sunni.
Jadi, ketika pasukannya Godfroi tiba di pintu kota Yerusalem, kota suci
itu sebenarnya telah berada di bawah kekuasaan Bani Fathimiyah.
Atas kejadian ini, Hillebrand mempertanyakan tidak adanya catatan khusus
dari para sejarawan Muslim. “Serangan tiba-tiba yang dilakukan
al-Afdhal (Wazir dari Dinasti Fathimiyah Mesir) ke Yerusalem, dengan
waktu yang amat tepat, memerlukan penjelasan yang belum diberikan para
sarjana Islam. Mengapa al-Afdhal melakukan serangan ini? Apakah karena
ia telah tahu lebih dulu soal rencana para Tentara Salib? Bila demikian,
apakah ia merebut Yerusalem untuk kepentingan Tentara Salib, yang
sebelumnya telah menjalin aliansi dengannya?” tulis Hillebrand.
Salah satu hipotesis yang dikemukakan peraih The King Faisal
International Prize for Islamic Studies ini adalah, bahwa pasukannya
al-Afdhal telah dikhianati oleh Godfroi de Bouillon, karena sesungguhnya
Kaisar Byzantium—Kristen Timur yang bertentangan secara ideologi dengan
Kristen Barat yang mengirimkan Tentara Salib—telah memberitahu
al-Afdhal bahwa pasukan Salib Kristen Barat akan segera tiba di
Yerusalem. Pemberitahuan ini diberikan Kaisar Byzantium tidak lama
berselang setelah Konsili Clermont usai.
Bisa jadi, demikian Hillebrand, al-Afdhal menginvasi Yerusalem agar
Godfroi menahan pasukannya dan bisa berbagi kekuasaan, karena al-Afdhal
mengira Tentara Salib atau ‘Bangsa Frank’ menurut Hillenbrand bisa
dijadikan sekutu yang baik menghadapi Muslim Sunni.
Namun yang terjadi tidak demikian. “Tentara Salib hendak menguasai
Yerusalem untuk dirinya sendiri, ” tulisnya. Lantas di mana peranan
Assassins dalam hal ini?
Peran Tersembunyi Assassins
Menjelang Perang Salib pertama, dunia Barat dan Timur masing-masing
mengalami perpecahan (schisma) yang hebat. Dunia Barat setidaknya
menjadi dua kekuatan besar: Kristen Timur yang berpusat di Byzantium dan
Kristen Barat yang berpusat di Roma. Secara diam-diam, Sekte Gereja
Yohanit yang sesungguhnya agnostik-paganistik menyusup ke Vatikan dan
menyusun kekuatannya.
Di sisi lain Dunia Islam juga terbagi menjadi dua kekuatan besar yang
juga saling memusuhi yakniKekhalifahan Abbasiyah yang sunni dan
Kekhalifahan Fathimiyah yang syiah yang berpusat di Mesir.
Carole Hillenbrand menulis, “Dalam kurun waktu kurang dari dua tahun,
sejak 1092 M, terjadi rentetan pembersihan semua pemimpin politik
terkemuka Dunia Islam dari Mesir hingga ke timur. Tahun 1092, seorang
menteri terkemuka Dinasti Seljuk sunni bernama Nizam al-Mulk terbunuh
(belakangan diketahui Assassins-lah yang melakukan itu). ”
Tahun 1092 M Dijuluki Tahun Kematian
Tiga bulan kemudian, Sultan Maliksyah, sultan ketiga Seljuk yang telah
berkuasa dengan gemilang selama duapuluh tahun juga meninggal dengan
sebab-sebab yang mencurigakan. Kuat dugaan ia juga telah diracun
Assassins. Tak lama kemudian, permaisuri dan cucu-cucunya pun meninggal
dengan cara yang tak lazim. Para sejarawan Islam memandang tahun 1092 M
sebagai “Tahun Kematian”.
Apalagi dengan peristiwa meninggalnya Khalifah Fathimiyah Syiah di
Mesir, al-Muntanshir, musuh besar Seljuk, yang juga terjadi pada tahun
itu. Dua tahun kemudian, 1094, Khalifah Abbasiyah alMuqtadhi juga
meninggal.
Rentetan perubahan yang berjalan amat cepat ini oleh Hillenbrand
disamakan dengan terjadinya Perestroika di Uni Soviet yang mengakibatkan
kehancuran dan perpecahan. Berbagai sekte dan negara kecil-kecil
memisahkan diri dan menjadi kekuatannya masing-masing. Dunia Islam
menjelang Konsili Clermont di tahun 1096 sudah berubah menjadi dunia
yang penuh kekacauan dan anarki.
Asassin Bertugas Menciptakan Perpecahan Di Kalangan Islam
Hillenbrand mengajukan pertanyaan: “Momentum ini bagi pasukan Salib
sungguh menguntungkan. Apakah saat itu pasukan Salib telah diberitahu
bahwa saat itu merupakan momentum yang sangat bagus untuk menyerang
Yerusalem?”
Jika di balik, pertanyaan Hillenbrand sebenarnya bisa lebih menukik,
seperti: “Adakah kekacauan di Dunia Islam ini telah diatur? Assassins
bertugas menimbulkan perpecahan di kalangan Islam dengan melakukan
serangkaian pembunuhan di berbagai dinasti Islam yang kuat, dan di lain
sisi Ordo Yohanit (Peter The Hermit dan Godfroi de Bouillon sebagai dua
tokohnya) di saat yang sama menyusup ke Vatikan dan memprovokasi Paus
agar mengobarkan Perang Salib untuk merebut Yerusalem.
Apalagi sejarah mencatat bahwa hanya setahun sebelum pasukan Salib tiba
di depan gerbang Yerusalem, kota suci itu telah jatuh ke tangan Dinasti
Fathimiyah. Adakah ini merupakan persekongkolan antara Assassins dengan
Ordo Yohanit di mana keduanya memang diketahui cenderung kepada
ilmu-ilmu ramalan, perbintangan, sihir, dan sebagainya yang menjurus
pada ajaran Kabbalah.
Dengan kata lain, adalah semua kejadian besar itu merupakan hasil
konspirasi yang dilakukan Ordo Kabbalah dengan pembagian kerja:
Assassins bekerja di Dunia Islam, sedangkan Yohanit (Ordo Sion dan
kemudian Templar) bekerja di Dunia Kristen?
Bukan rahasia umum lagi bila Assassins dan Templar di kemudian hari
benar-benar melakukan kerjasama. Templar sering mengorder Assassins
untuk membunuh musuh-musuh politiknya. Salah satu korban dari Assassins
adalah Richard The Lion Heart. Salahuddin al-Ayyubi sendiri pernah
menerima terror dari Assassins.
Target Asassins : Richard The Lion Heart dan Salahuddin Al-Ayyubi
Suatu pagi, Salahuddin terbangun dari tidur di dalam tendanya dan
menemukan sepotong kue yang telah diracun di atas dadanya dengan
tulisan, “Anda berada dalam kekuasaan kami. ” Sejak itu Salahudin makin
yakin bahwa dia tidak bisa meremehkan Assassins. Dan hal ini terbukti
kemudian, setelah membebaskan Yerusalem, Salahudin terus melakukan
pembebasan hingga ke Benteng Alamut, markas besar Assassins di Persia,
sebelum akhirnya ke Mesir untuk melakukan pembersihan terhadap sekte
Syiah.
Sebutan Hashyashyin atau dalam lidah orang Barat “Assassins” berasal
dari catatan Marcopolo. Pelaut ternama dari Venesia ini pada tahun
1271-1272 melintasi daerah Alamut, sebuah benteng besar di atas karang
yang sangat kuat dan memiliki taman yang sangat indah di dalamnya, di
wilayah Persia.
Dalam catatannya tentang Benteng Alamut dan aktivitas sekte Syiah
pimpinan Hasan al-Sabbah, yang diistilahkan oleh Marcopolo sebagai kaum
Assassins, pelaut Italia ini menulis:
“…Beberapa pemuda yang berumur duabelas hingga duapuluh tahun yang
memiliki semangat tarung yang tinggi, dibawa masuk ke dalam taman yang
berada di tengah-tengah benteng. Mereka dibawa masuk bergiliran, sekitar
empat, enam, atau sepuluh pemuda. Sebelumnya, mereka disuguhi minuman
keras dan candu yang membuat mereka mabuk berat atu tertidur pulas. Baru
setelah itu mereka diangkat dan dipindahkan ke dalam taman.
Ketika bangun, para pemuda itu mendaati dirinya berada di tengah taman
yang sangat indah. Mereka dikelilingi para gadis-gadis perawan yang
mengenakan pakaian sungguh menggoda. Para gadis itu menghibur, merayu,
dan melayani keinginan para pemuda tersebut. Mereka sungguh-sungguh
dimanjakan.
Para pemuda itu menyangka mereka sedang berada di surga. Sehingga ketika
Hasan al-Sabbahsebagai pimpinan tertinggi Hashyashyin memberi tugas
atau perintah kepada mereka maka mereka akan dengan senang hati akan
melaksanakannya.
“Surga” yang sangat indah telah menantikan para pemuda tersebut jika
tugasnya selesai. “Saat kau kembali, bidadari-bidadariku akan membawamu
ke surga. Dan jika pun kau mati, kau pun akan pergi juga ke surga, ”
ujarnya.
Penggunaan candu atau Hashyishy inilah yang oleh Marcopolo, kelompok ini disebut kaum Hashyashyin.
Old Man of the Mountain
Freya Stark, seorang wartawati Inggris berdarah campuran
Perancis-Italia, ketika menjabat sebagai Staf Redaksi Bagdad Times di
Bagdad, Irak, banyak melakukan perjalanan jurnalistiknya. Perempuan yang
menguasai bahasa Arab dan Parsi ini atas izin Shah Iran di tahun
1930-1931 mengunjungi sisa-sisa Benteng Alamut di Persia. Stark
merupakan perempuan asing pertama yang menjejakkan kakinya di wilayah
bekas pusat kekuasaan kaum Assassins ini.
Stark membuat peta baru yang terperinci atas wilayah tersebut dan
catatan perjalanannya menjadi sebuah buku yang sangat menarik berjudul
“The Valley of the Assassins”.
Dalam bukunya, Stark menulis tentang latar belakang dan perkembangan
kelompok Assassins. Stark berpedoman kepada literatur-literatur tertua
dalam Dunia Islam.“Assassins itu sebuah sekte Parsi. Cabang dari aliran
Syiah Ismailiyah, yang memuliakan Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi
Muhammad, beserta Imam-Imam turunan dari garis Ali, ” demikian Stark
(hal. 159).
Asassins dan Komunisme
Aliran Ismailiyah memisahkan diri dari aliran-aliran lainnya sepeninggal
Imam ke-7, Imam Jafar al-Shadiq. Walau mengaku sebagai Syiah dan
pengikut Ali, namun berlainan dengan aliran lainnya, maka Assassins
tidak mewajibkan shalat, puasa, zakat, dan sebagainya. Pandangan
‘keagamaan’ Assassins juga unik karena lebih condong kepada Komune (pada
abad ke-20 dikenal sebagai paham Komunisme)—penyamarataan sosial.
Bahkan di dalam beberapa ritual religinya, Assassins juga melakukan
ritus-ritus yang kerap ditemukan pada pengikut paganisme-Kabalis.
Seperti halnya ritus di dalam Taman Alamut yang nyaris serupa dengan
ritus pesta seks Caligula atau Nero di zaman Romawi.
Tulisan Stark yang dikutip oleh Joesoef Sou’yb dalam ‘Sejarah Daulat
Abasiah’ Jilid III (Bulan Bintang, 1978) menyatakan, “Kelompok Assassins
dipimpin oleh sebuah keluarga Persia yang kaya raya namun gila perang.
Mereka itu menyerahkan hidupnya untuk merongrong dan menghancurkan
secara berangsur-angsur terhadap segala jenis keimanan Islam dengan
suatu sistem pentahbisan (inisiasi) secara halus dan pelan-pelan,
melalui beberapa tahap (marhalah), menusukkan kesangsian-kesangsian
terhadap agama Islam, hingga kemudian si anggota menjadi seseorang yang
mendewa-dewakan pemikiran bebas dan bersikap bebas pula (liberal). ”
(hal. 61)
Paparan Stark di atas merupakan alat utama pengrusakkan agama-agama
samawi yang dilakukan oleh kaum Kabbalis. Seperti yang telah diulas
dalam banyak sekali literatur, ketiga agama samawi yang dirusak oleh
kaum Kabbalah ini adalah Yahudi, Nasrani, dan Islam.
Ke dalam agama Yahudi yang sesungguhnya memiliki Kitab Taurat yang
diturunkan kepada Nabi Musa a. S., kaum Kabbalah ini menyisipkan
ayat-ayat palsu sehingga Taurat menjadi rancu dan berantakan. Lantas
kaum Kabbalah ini membuat satu kitab yang dikatakan sebagai ‘titah Tuhan
kepada Nabi Musa yang tidak tercatat’ (seperti halnya Hadits Qudsi di
dalam agama Islam, hanya saja Hadist Qudsi merupakan sesuatu yang benar
berasal dari Allah SWT), yang disebutnya sebagai Kitab Talmud. Kitab
Talmud ini pun akhirnya menjadi ‘lebih suci dan tinggi’ ketimbang
Taurat, sehingga kaum Yahudi ini menjadi kaum yang dimurkai Allah SWT.
Ke dalam agama Nasrani, kaum Kabbalah memasukkan seorang Yahudi
Talmudian bernama Paulus dari Tarsus. Paulus ini yang tidak pernah
bertemu dengan Yesus karena zaman kehidupannya jauh berbeda, membuat
Kitab Perjanjian Baru, yang disebutkan sebagai penggenapan Bibel
Perjanjian Lama (Taurat). Ke dalam Perjanjian Lama pun-seperti halnya
Taurat Musa—disisipkan ayat-ayat palsu sehingga mustahil untuk kita
menemukan mana yang asli dan mana yang tidak.
Lalu ke dalam agama Islam, kaum Kabbalah ini memasukkan seorang Yahudi
juga yang berpura-pura sebagai orang Islam bernama Abdullah bin Saba.
Abdullah bin Saba inilah yang memecah umat Islam ke dalam dua kutub
besar yakni Sunni dan Syiah, sesuatu yang tidak ada saat Rasulullah SAW
masih hidup.
Sesuatu yang bukan kebetulan, ujar Stark, bahwa keluarga Persia tersebut
memusatkan aktivitasnya di Mesir atas nama Dinasti Fathimiyah. Mesir
sejak zaman purba merupakan salah satu pusat berkembangnya ajaran
Kabbalah.
Salah satu tonggak Kabbalah di Mesir Kuno adalah di masa kekuasaan para
Firaun, yang berkuasa ditopang oleh “Dua Kaki” yakni Militer dan
Penyihir. Di masa Nabi Musa as., para penyihir ini sebagian ada yang
meninggalkan ajaran Kabbalah dan kembali ke Islam. Namun Dewan Penyihir
Tertinggi (Majelis Ordo Kabbalah) tetap memusuhi Nabi Musa a. S dan
menyusupkan seorang anggotanya ke dalam umatnya Nabi Musa untuk
memalingkan kaumnya dari ketauhidan. Al-Qur’an mencatat orang yang
disusupkan itu bernama Samiri.
Di Mesir, cikal bakal Assassins ini menyusup ke semua lini dan menguasai
posisi-posisi penting. Salah seorang dai Ismailiyah yang berasal dari
kota Rayy di Persia bernama Hassan al-Sabbah muncul sebagai tokoh di
Mesir. Hassan al-Sabbah inilah yang kemudian mendirikan sekte Assassins
dan memegang jabatan sebagai Pemimpin Agung yang pertama dari kelompok
tersebut (The First Grandmaster of the Assassins).
Kharisma dan kebrutalan Hassan al-Sabbah menjadikannya dai yang amat
disegani. Ia kemudian menciptakan ideologi bagi kelompoknya sendiri,
melaksanakan pelatihan-pelatihan militerisme dan intelijen secara
sembunyi-sembunyi, dan sebagainya.
“Ia menciptakan suatu penemuannya sendiri, membawa ide baru ke dalam
dunia politik pada masanya itu. Prinsip pembunuhan yang cuma karena haus
darah telah dikembangkannya menjadi satu alat politik berasaskan
sumpah, ” tulis Sou’yb. Dan tentu saja, proyek-proyek pembunuhan
diam-diam terhadap lawan-lawan politik pihak yang memesannya telah
menjadi ladang usaha yang sangat menguntungkan. Assassins pun menangguk
keuntungan material yang sangat besar dari usahanya.
The Secret Garden of Assasins
The Secret Garden atau Taman Rahasia yang terletak di tengah Benteng
Alamut di Persia, merupakan tempat inisiasi para anggota baru yang
kisahnya telah dipaparkan di atas. Ritual yang dilakukan Assassins di
Taman Rahasia tersebut mirip dengan yang dilakukan para Templar di
Rosslyn Chapel atau di kuil-kuil mereka, yakni berakhir dengan pesta
seks yang disebutnya sebagai penyatuan suci menuju Tuhan.
Reruntuhan Benteng Alamut, Markas Pembentukan Asassins
Hassan al-Sabbah merupakan pendiri sekaligus Grandmaster Assassins.
Hasan berasal dari daratan Persia. Ferdinand Tottle dalam bukunya
berjudul Munjid fil Adabi (1956) menulis bahwa Hassan dikirim oleh Ibnu
Attash di tahun 1072 M ke Mesir untuk menemui Khalif al-Muntashir dari
Daulah Fathimiyah yang beraliran Syiah.
Mesir kala itu dikuasai kelompok syiah, di mana Perguruan Tinggi
Al-Azhar merupakan lembaga pendidikan ternama kaum Syiah. Hasan menuntut
pendidikan di lembaga tersebut.
Sepuluh tahun kemudian, dalam usia ke-31, Hasan kembali ke Persia.
Ketika Ibnu Attash wafat, Hassan menggantikan kedudukannya. Sebelum
Hassan kembali ke Persia, Assassins masih menjadi gerakan bawah tanah
yang belum berani menampakkan diri di atas permukaan. Dan ketika Hassan
telah kembali, maka Assassins baru menampakkan diri sebagai satu gerakan
dalam Sekte Syiah Ismailiyah yang beda dengan sekte-sekte lainnya.
Asassins Aliran Sesat Ciptaan Yahudi
Assassins sebenarnya bukan hanya beda di permukaan, tapi memiliki
perbedaan secara substansial dan doktrinal. Secara akidah sebenarnya
Assassins tidak lagi bisa dipandang sebagai bagian dari kaum Muslimin
karena mereka tidak mewajibkan sholat, zakat, dan puasa, sesuatu yang
sangat esensial di dalam Islam.
Sekembalinya Hassan ke Persia, gerakan Assassins mulai memperluas
pengaruhnya ke seluruh penjuru Persia dengan merebut wilayah-wilayah
strategis. Wilayah Iran Utara sampai pesisir Laut Kaspia, yang sejak
zaman Romawi banyak berdiri kota-kota benteng menjadi sasaran utama.
Beberapa kota benteng yang kokoh berdiri di antaranya Alamut, Girdkuh,
dan Lamiasar berhasil dikuasai.
Benteng Alamut merupakan benteng terkuat karena berdiri di atas puncak
pegunungan di mana hanya ada satu jalan untuk keluar dan masuk, itu pun
sangat sulit dan terjal. Di dalam benteng yang merupakan peninggalan
dari Kaisar Romawi Trajanus (98-117M) terdapat ruangan-ruangan yang
membingungkan dan sebuah taman rahasia di tengahnya, di mana tidak
setiap orang bisa mengaksesnya. Oleh Hassan al-Sabbah, Benteng Alamut
digunakan sebagai markas besar kelompok tersebut.
Dari Alamut inilah kelompok Assassins menyebarkan terror ke seluruh
lapisan kerajaan, baik dari pihak Syiah maupun lawannya Sunni-Abasiyah
dan Seljuk. Masa-masa itu dikenal sebagai masa The Great Terror.
Kekuatan Assassins ini demikian melegenda hingga menjadi pembicaraan
kaum Salib Eropa.
Ditumpas Shalahuddin al-Ayyubi
Selain Tentara Salib dengan Ksatria Templar dan
Hospitaller-nya, pasukan Shalahuddin Al-Ayyubi juga harus menghadapi
kelompok Assassins. Shalahuddin tidak bisa melupakan bagaimana Assassins
pernah mengancam dirinya dengan menaruh kue beracun di atas dadanya
saat dia tengah tertidur.Sebab itu, setelah membebaskan Yerusalem dengan
mengalahkan Tentara Salib di tahun 1187, Shalahuddin tidak berhenti.
Panglima pasukan Islam itu terus menyusuri ke utara, membebaskan
daerah-daerah lainnya hingga mengejar kaum Assassins ke Benteng Alamut.
Pasca serangan yang dilakukan pasukannya Shalahuddin, kemudian
pasukannya Mongol, kelompok Assassins menyebar ke berbagai wilayah,
utamanya Lebanon, Persia, dan Suriah. Bertahun-tahun kemudian, kelompok
ini tidak lagi terdengar dan istilah “Asassins” telah mengalami
perubahan makna menjadi “Pembunuh Bayaran”. Dalam budaya pop, istilah
ini diangkat ke dalam novel-novel dan layar perak.
Dalam kancah konflik di dunia Arab, anak-keturunan kelompok ini dikenal
sebagai kaum Druze, suatu kelompok pro-komunis di Lebanon dan Suriah.
Namun beberapa kelompok kecil masih bertahan hingga kini di sekitar
wilayah tersebut.
Catatan Yang Hilang
Sampai hari ini, sejarawan masih bersilang pendapat soal hubungan antara
Sekte Assassins dengan Ksatria Templar (dan Ordo Sion tentunya).
Carolle Hillebrand dalam karyanya yang mendapat penghargaan dari King
Faisal termasuk yang percaya bahwa di bawah permukaan, di masa sebelum
dan sesudah Perang Salib, antara kedua kelompok ini sebenarnya terdapat
kerjasama yang unik.
Keduanya memiliki kemiripan di dalam memahami kitab suci agamanya
masing-masing. Baik Templar maupun Assassins dituduh telah melakukan
heresy atau bid’ah, karena keduanya memahami kitab sucinya lebih dari
sekadar apa yang tertulis dan meyakini ada pesan-pesan tidak tertulis di
dalam teks-teksnya. Kalangan sejarawan menyebut mereka berdua sebagai
kelompok esoteris. Sebab itu, ritual-ritual keagamaan keduanya pun
mirip.